Masyarakat sejak dulu sudah menolak kehadiran narkoba. Adanya kata-kata kecanduan dan pemadatan menunjukkan hal ini. Bahasa yang sudah baku itu berawal dari ejekan dan umpatan terhadap para pecandu dan pemadat.
Ungkapan kata-kata yang terkonotasi negatif itu menunjukkan madat atau candu yang kemudian jenis-jenisnya berkembang sekarang ini bukanlah barang baru di Tanah Air. Bahkan, sebelum masa VOC (1619), candu sudah merupakan komoditas yang diperdagangkan di Pelabuhan Sunda Kalapa.
Ini diutarakan Jemes R Rush dalam bukunya Opium to Java. Menurut pengarang dari Belanda itu, sewaktu VOC mencapai Jawa pada awal abad ke-17, candu telah menjadi komoditas penting di pulau ini. Disebutkan VOC bersaing dengan Inggris, dan Portugis untuk memonopolinya.
Setelah menancapkan kakinya di Jawa, VOC pernah mengadakan perjanjian dengan Amungkurat II untuk memonopoli impor candu di Mataram. Setahun kemudian dengan Kesultanan Cirebon. Kemudian VOC memperluas pemasaran candu ke berbagai tempat di Jawa.
Diperkirakan dari 1619-1799, tiap tahun VOC memasok rata-rata 56 ton candu ke Pulau Jawa. Rupanya, para pedagang Cina waktu itu ketiban rizki dari perdagangan jenis opium ini. Mereka berperan sebagai perantara dalam bisnis ini.
Dalam buku Oei Tiong Ham; Konglomerat Pertama di Asia Tenggara disebutkan sejumlah orang Cina papan atas yang ditunjuk menjadi penjual dan distributor candu. Mereka antara lain, Ho Lam Ho, Tan Hong Ban, dan Be Ing Tjioe, di samping sejumlah kapiten Cina lainnya.
Tidak tanggung-tangung, dalam perdagangan candu ini, para pejabat VOC menciptakan sebuah organisasi yang dinamakan Opium Society. Hingga tidak heran sampai 1880, pajak perdagangan candu merupakan penghasilan yang besar bagi kocek pemerintah di Hindia Belanda.
Memang tidak gampang untuk menjadi penarik pajak candu. Karena untuk itu diadakan pelelangan besar-besaran. Pemenangnya tentu saja orang-orang berduit.
Adanya perdagangan dan pajak candu ini membuktikan sejak dulu sudah banyak orang yang mengisap narkoba. Di Jakarta sendiri pada waktu itu oleh penjajah disediakan sebuah tempat lokalisasi para pecandu. Sampai 1950-an, tempat ini oleh warga Ibu Kota dikenal dengan sebutan Gang Madat dan Gang Madat Besar. Untuk menghilangkan kesan buruk, setelah kemerdekaan namanya diganti menjadi Jl Kesejahteraan dan Jl Keselamatan. Letaknya di sebelah kiri Jl Gajah Mada, apabila kita menuju Jakarta Kota, tidak jauh dari toko buku Gramedia.
Beberapa penduduk asli kampung ini masih dapat menceritakan lokalisasi para pemadat itu, berdasarkan keterangan dari orang tua dan kakek mereka. Bahkan, ada yang menyaksikan sendiri saat mereka kecil atau remaja.
Kini kedua lokasi itu, bagi penduduk setempat, hanya tingal kenangan. Karena, sejak pendudukan Jepang (1942) telah ditutup. H Hilmi Munandar (72 tahun), yang dilahirkan di kawasan tersebut, memperkirakan letaknya di sebuah lapangan yang sejak beberapa tahun lalu dibongkar.
�Letaknya di sudut sekali. Di tempat itu dulu ada sebuah rumah papan. Di kamar-kamar rumah yang berukuran 300 meter itulah tiap hari para pemadat berkumpul. Saya sering mendengar bunyi 'grogok-grorok' dari air yang diisap para pemadat sambil tiduran dari sebuah pipa. Semacam hoga yang diisap orang-orang Arab," ujarnya.
Hilmi tidak tahu sejak kapan lokalisasi pemadat berdiri. �Setahu saya sejak engkong (kakek) saya hidup sudah berdiri," kata dia.
Tapi, dia meyakinkan para pengisap madat yang datang ke tempat tersebut adalah orang-orang Cina. �Tidak ada satu pun orang kita."
Burung-Burung tak Bergairah Saat Pabrik Candu Tutup
Tidak seperti sekarang ini, di mana pecandu narkoba (narkotik dan obat-obatan) sudah begitu meluar. Sampai-sampai disinyalir peredaran narkoba sudah menjalar ke murid-murid SD. Tidak heran kalau Menteri Koperasi Yustika Baharsjah minta para hakim untuk berani menindak tegas para pengedarnya.
Kalau perlu mereka di-dor atau dihukum mati saja. Pihak kolonial Belanda bukan hanya menyediakan tempat lokalisasi para pemadat. Bahkan, tidak tanggung-tanggung sampai-sampai membangun pabrik candu. Lokasinya sekarang kira-kira sebelah kiri Fakultas Kedokteran UI di Salemba, Jakarta Pusat. Menurut sejumlah orang tua di Jalan Kenari, dekat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), pabrik ini menghasilkan candu berwarna hitam bulat seperti tablet.
Kalau sekarang ini seruan-seruan para pendidik dan juga ulama tidak digubris oleh para remaja penggemar narkoba, tidak demikian halnya pada masa lalu. Seperti dituturkan Abdul Rasyid, seorang tua di Jl Kenari, ketika pabrik ini beroperasi tidak ada satu pun warganya yang pernah menjadi kecanduan obat haram ini.
�Para ulama ketika itu, memfatwakan bahwa madat itu haram dan harus dijauhi. Karena itu, orang yang beragama Islam tidak ada yang berani mengisapnya,� kata Abdul Rasyid.
Besarnya pengaruh ulama pada masa penjajahan lalu juga diungkapkan Hilmi, mantan warga Gang Madat. �Berkat seruan ulama, tidak ada orang kite (Indonesia) yang sampai mengisap madat, � ujarnya.
Ada yang lucu yang diceritakan oleh Abdul Rasyid, warga Gang Kenari, �Burung-burung yang bertengger di tiang-tiang listrik dekat pabrik candu akan teler, tiduran, dan tidak bergairah pada hari Ahad. Yakni, saat pabrik tutup. Burung-burung baru bergairah kembali hari Senin, saat pabrik dibuka kembali.�
Oleh: Alwi Shahab (rol)
Note: Only a member of this blog may post a comment.